Opini: Saiful Roswandi*
Fachrori-Syafril ingin mengedepankan kearifan Lokal.
Saya selaku Juru Bicara Fachrori Umar dan Syafril Nursal. Sangat berterima kasih kepada teman-teman yang kritis terhadap pakaian pasangan calon (paslon) Gubernur dan Wakil Gubernur, Fachrori Umar yang memakai pakaian Sultan Thaha dan Syafril Nursal memakai Rang Kayo Hitam. Namun, sayangnya para pengkritik membabi buta dalam mendiskreditkan penampilan tersebut.
Semestinya para pengkritik lebih arif menilai penampilan Paslon nomor urut dua ini. Dan melihat lebih jauh terhadap niat paslon Fachrori Umar-Syafril Nursal yang mengedepankan kearifan lokal dalam ajang Pemilihan Gubernur Kali ini. Karena, simbol-simbol yang disematkan kepada paslon adalah bentuk perwujudan pikirannya. Selain dari yang tertuang dalam visi-misi dan programnya. Tidak sekedar menjadikan Pilgub sebagai ajang merebut kekuasaan semata. Tanpa mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal. Jika niat baik Paslon nomor urut dua, kemudian dinilai dengan cara yang menyesatkan. Siapa lagi yang akan bangga dengan pakaian adat dan pakaian raja Jambi?
Supaya tidak jauh penyesatan yang dilakukan para pengkritik. Ada baiknya saya luruskan pemahamannya. Agar publik tidak larut dalam penyesatan opini mereka. Meskipun saya bukanlah “suhunya” dalam hal tersebut.
Kritik Nurul Fahmy dalam laman Facebooknya dengan judul Feodalisme Gaya Baru Kandidat Nomor Dua. Maupun komen Via Dicky, soal pakaian yang dikenakkan oleh Fachrori Umar dan Syafril Nursal. Adalah kritikan yang agak membabi buta. Bahkan cendrung menyesatkan pikiran publik.
Politik simbol pakaian terhadap paslon Gubernur dan Wakil Gubernur Fachrori Umar-Syafril Nursal adalah bentuk kebanggaan terhadap nilai-nilai kearifan lokal. Terutama kearifan berpakaian. Hal itu dilakukan dengan maksud. Agar pilgub kali ini tetap mengutamakan nilai-nilai keluhuran yang tertanam ditengah masyarakat. Bagi Fachrori Umar dan Syafril Nursal ajang pilgub merupakan ajang kemenangan bagi seluruh masyarakat Jambi. Dengan mengedapankan rasa cinta terhadap nilai-nilai budaya dan adat-istiadat Jambi.
Bukan berarti mereka tidak bisa memakai Jas ala kaum berjois di Eropa. Atau berpakaian putih-putih ala pentolan PKI DN Aidit. Tapi, paslon nomor urut dua lebih ingin mengedepankan nilai-nilai lokaly yang mulai tergerus oleh pengaruh luar.
Kekeliruan Nurul Fahmy yang memisahkan busana adat dan busana raja. Adalah kekeliruan yang nyata. Apalagi menuduh bahwa pakaian tersebut sebagai bentuk feodalistik seorang Raja. Apakah benar Raja Jambi itu Feodal? Tuduhan feodal karena memakai pakaian raja Sulthan Thaha Syaifuddin dan Rang Kayo Hitam adalah tuduhan tanpa dasar.
Semestinya, sikap yang ada pada Sulthan Thaha dan Rang Kayo hitam patut dicontoh oleh calon pemimpin Jambi saat ini. Terutama dalam pengabdiannya terhadap negeri Jambi. Sikapnya dalam mengayomi masyarakat. Membela tanah kelahiran dan bahkan berani berkorban nyawa. Begitulah sikap yang semestinya ada pada paslon pilgub yang akan dipilih 9 Desember nanti.
Misalnya Sulthan Thaha Saifuddin. Ia dikenal sebagai sosok yang paham ilmu agama dan ketauhidan. Bahkan sejak ia berusia lima tahun. Sang putra mahkota Jambi itu percaya benar, tak ada kekuasaan yang paling besar dan kekal di dunia ini selain kekuasaan Allah swt. Ia dikenal alim dan taat. Penuh dengan kejujuran dan menjunjung tinggi kebenaran. Sulthan Thaha dikenal sebagai raja yang tak menyukai keangkuhan dan ketamakan. Ia dididik ayahnya dengan ajaran budi pekerti yang luhur serta ajaran Islam yang kuat.
Dengan nilai-nilai kepemimpinan Sulthan Thaha tersebut. Ada pada sosok Fachrori Umar sebagai calon Gubernur Jambi. Maka disimbolkanlah kepadanya dengan pakaian raja Jambi Sulthan Thaha.
Begitupun dengan legenda Rang Kayo Hitam. Ia dikenal gagah berani menentang raja Mataram diwaktu itu. Saat pengiriman upeti ke Mataram saat itu. Rang Kayo Hitam sangat keras menolaknya. Dengan tegas Rang Kayo Hitam berujar, “Jambi adalah kerajaan, Mataram juga karajaan. Keduanya sama, Jambi juga berdaulat, kenapa kita harus tunduk” itulah ucapan yang cukup mashur hingga saat ini.
Adapun raja Mataram yang berniat membunuh Rang Kayo Hitam. Ia berani menemui empu keris yang membuat keris untuk membunuhnya hingga ke Mataram dengan seorang diri. Hal itu dilakukannya semata-mata untuk membela tanah kelahirannya. Dan semangat seperti itu ada pada Caon Wakil Gubernur Syafril Nursal. Selama bertugas di institusi polri hingga menjadi Kapolda Sulteng. Syafril Nursal dikenal tegas, disiplin dan berwibawa. Berani memerangi teroris di poso dan memberantas para bandar narkoba.
Maka diharapkan perpaduan keduanya menjadi pemimpin yang ideal untuk Jambi kedepan. Alim, taat, paham agama dan tauhid. Berani membela rakyat. Berani mempertahankan hak daerah. Dengan tetap mengayomi dan melindungi kepentingan rakyat Jambi kedepan. Dan itu ada pada paslon nomor urut dua ini. Jadi, sangat keliru tuduhan Nurul Fahmy yang menyebutkan simbolik pakaian raja sebagai feodalistik. Cara seperti ini mirip dengan politik pecah belah ala Kolonial Belanda. Politik Devide Et Impera yang memisahkan raja dengan rakyatnya. Memainkan isu bahwa seorang raja hidup penuh dengan hedonis dan feodalis. Sementara rakyat hanya kaum jelata yang hidup dalam kesusahan. Niat Belanda adalah untuk melemahkan kerajaan yang dipimpin raja waktu itu.
Begitupun komen Via Dicky dilaman facebook tersebut. Yang katanya ia pengamat sejarah. Terlepas asal usul sebagai pengamat. Yang jelas apa yang disebutnya bahwa itu bukan pakaian raja Jambi atau pakaian Rang Kayo Hitam yang dikenakkan oleh Fachrori Umar dan Syafril Nursal adalah pengamatan yang keliru. Apalagi menyebutkan bahwa itu adalah pakaian raja-raja di Sumatera Tengah, Siak ataupun Indrapura. Entah dari mana referensi bicaranya. Yang jelas dari sisi bentuk dan motif pakaian tersebut sudah sangat jauh berbeda.
Maka, atas penilaian Nurul Fahmy dan Via Dicky yang mendiskreditkan pakaian raja Jambi adalah bentuk feodalisme, adalah tuduhan yang sangat menyesatkan. Karena seluruh raja Jambi dan keturunannya tidak ada satupun yang bersikap feodalistik. Malah lebih humble (bersahaja) dengan rakyatnya dan jauh dari sikap negatif.
*penulis adalah Jubir Fu- Syafril